Kamis, 24 Mei 2012

Cerita Kardus Mie Instan di Gerbong

Karya : M. Noor W.
S
elepas di stasiun Kediri, kereta jurusan Surabaya meneruskan perjalanan menuju stasiun sebagai tujuan terakhir. Gerbong yang ditumpangi lelaki itu nyaris kosong karena banyak penumpang yang turun di Stasius Kediri. Kereta perlahan melewati kota ketika kereta melewati jembatan di atas jalan raya dengan cepatnya. Lelaki itu bangun dari tidurnya, sambil melihat ke tempat barang di atas kepalanya. Kardus bekas kemasan mi instan yang diikat tali plastik itu masih di sana. Ibu tua yang duduk di dekatnya tadi telah turun dari Kediri dan tidak mau ketika diingatkan lelaki itu supaya jangan lupa barangnya. "Tidak. Itu bukan barang saya," jawabnya.
Lelaki itu cepat menduga bahwa ini sebuah keteledoran atau kesengajaan. Boleh jadi sebuah bom itu pikirnya. Ia mulai cemas. Tapi ia memberanikan diri juga untuk menurunkannya dan meletakkan hati-hati di dekat tas jinjingnya sambil mengamati kardus yang diikat itu. Ada celah yang terbuka, terlihat lembaran plastik transparan sebagai pembungkus barang yang ada di dalam. Kereta bergerak terus dan memasuki stasiun berikutnya dengan jalur keretanya yang banyak. Meski tidak berhenti di stasiun itu, kereta tetap bergerak pelahan, seperti kecapaian sehabis berlari kencang sejak dari Kediri.
Lelaki itu mencoba memasukkan tangannya hati-hati melalui celah yang terbuka. Jrenggg,,,melainkan susunan kertas yang disusun rapi. Dengan antusias, ternyata susunan uang kertas pecahan lima puluh ribuan. "Ini pasti palsu," pikirnya. Tiba-tiba ia berkeringat, berimajinasi macam-macam. "Mungkin ini adalah punya orang yang habis mencuri??," pikirnya lagi. Ia dikagetkan oleh kedatangan kuli-kuli yang menyerbu gerbong yang nyaris kosong itu ketika sedang melambat hendak berhenti di stasiun itu.
"Boleh saya bantu, Pak?"
Lelaki itu menggeleng. Ia merapikan ikatan tali-tali plastik itu kembali dan bersiap turun di stasiun itu dengan badan penuh keringat beserta debaran jantungnya yang mendecak.

Lelaki itu selamat sampai tujuan melintasi macet Surabaya selama lebih kurang satu jam di atas bus patas yang padat menjelang magrib bersama gerimis musim penghujan. Di kamar kosnya yang sempit penuh buku, ia pastikan isi kardus itu bukan bom dan uang palsu. Tapi tumpukan uang yang masih diikat rapi kertas pembalut bertanda Bank Indonesia itu tampak asli dan utuh dalam ikatan sepuluh jutaan. Diluar kepala, lelaki itu menghitung dua ratus juta rupiah uang dalam pecahan lima puluh ribuan. Lalu ia mendorong kardus itu ke bawah kolong tempat tidur bersentuhan kardus-kardus lain yang sekarang seperti tidak berharga sama sekali. Sementara, hujan bulan Maret belum hendak berhenti membasuh Kota Surabaya yang penuh debu.
Sebelum sempat tertidur, lelaki itu kadang-kadang memikirkan tindakannya tadi sore di kereta Gajayana, yang memutuskan untuk membawa kardus berisi uang kertas itu. Kadang-kadang ia menyalahkan dirinya dan merasa telah dengan sengaja mengambil risiko yang mungkin berakibat fatal pada dirinya, kadang-kadang merasa berdosa besar.
"Tidak, ini tidak keliru. Saya adalah alamat yang tepat karena pertolongan tangan Tuhan," pikirnya. Sampai akhirnya lelaki itu memutuskan untuk bertahajud. Minta petunjuk dan perlindungan Tuhan. Semua daftar kesulitan hidup yang dialaminya selama ini, dicurhatkan kepada Tuhan tanpa ada yang tertinggal. Seolah-olah selama ini Tuhan telah melupakannya. Tapi malu-malu ia katakan kepada Tuhan bahwa ia telah menjual mobil bututnya untuk membantu kehidupan keluarganya, seorang istri dan tiga orang anak yang sedang butuh biaya tinggi untuk pendidikan.
Tanpa malu-malu diadukannya juga kepada Tuhan bahwa telah hampir dua puluh tahun bekerja sebagai dosen pemerintah, gajinya tetap saja tidak cukup, bahkan selalu hidup dengan berutang. Di depan Tuhan ia juga menjelek-jelekkan pemerintah Indonesia yang telah memutus beasiswa S3 nya setelah melebihi masa studi tujuh semester. Oleh karena itu, istrinya terpaksa membuka warung di rumah, di bilangan kompleks perumahan sederhana di pinggir Kota Surabaya dengan modal hasil penjualan mobil bututnya itu. Padahal dulu, sewaktu ia mendapatkan beasiswa S2 di Australia, justru ia bisa membeli mobil mewah setelah selesai kuliah. Bahkan ia hidup dengan keluarganya di sana dengan bahagia.
Selama studi dua tahun di Australia , ia juga diangkat menjadi tutor untuk kelas bahasa Indonesia dengan tambahan uang saku yang menguntungkan. Sekarang di Surabaya , ia mencari universitas swasta yang mau memakai tenaganya. Untunglah, berkat pertolongan teman-teman, lelaki itu dapat mengajar tiga hari seminggu di dua universitas sekadar cukup untuk menutup biaya hidup di Surabaya sambil menyelesaikan gelar doktornya yang selalu tertunda. Tapi, itu penuh perjuangan. Bertempur dengan angkutan kota yang berjubel, dihadang macet dan serbuan tukang ngamen dan pencopet tiap hari.
Malam itu, ia berencana akan mencoba menguji menggunakan uang kardus itu esok pagi. Mula-mula, ia berniat ke warung dekat rumah kos membeli sabun, rokok, mi instan, biskuit, kopi, gula, dan tissu. Lalu, berangkat lebih awal mengajar naik taksi agar dapat menikmati angkutan nyaman tanpa berdesakan. Sehabis mengajar, berencana menggunakan uang lima puluhan itu untuk membeli kaus kaki, ikat pinggang, celana dalam dan singlet di kaki lima yang biasanya digelar di halte pinggir jalan. Jelas lelaki itu tidak berani membelanjakannya di supermarket atau mal yang biasanya tiap kasir memiliki mesin penguji uang palsu. Apalagi berniat menyimpannya di bank.
Pagi itu ia terbangun oleh ketukan halus di pintu kamarnya. Ibu kos yang janda itu memanggil-manggil namanya dengan genit. Biasa, membagikan jatah termos berisi air panas tiap kamar. Laki-laki itu menduga bahwa dua kamar lainnya pasti sedang kosong. Biasanya, kalau semua penghuni sedang keluar rumah, termos air panas pagi hari cukup diletakkan saja di atas meja makan. Ia tahu persis, kalau nada suara ibu kos itu mulai bergenit-genit, pasti dalam keadaan aman. Artinya, seperti beberapa kali dialaminya, ketika ia membuka pintu, tangan lembut ibu kos yang memegang tangkai termos air panas itu sekalian ditariknya ke dalam kamar. Ibu kos hanya pura-pura saja menolak yang kemudian merintih, "Ah, si Akang genit ah."
"Yang lain pada ke mana?" tanya lelaki itu..
"Pada pulang. Pergi setor," sambil tertawa cekikan.
Padahal, kalau penghuni tiga kamar belakang itu lengkap, hal itu tidak akan terjadi. Dan, lelaki itu memaksa ibu kos menyedukan kopi untuknya sebelum meninggalkan kamar. Seperti biasa, ia menurut, bahkan seperti hendak memuntahkan kerinduannya kepada si Akang. Janda beranak dua yang kedua anaknya sedang sekolah di SMP dan SMA itu sudah lama ditinggal suaminya yang pelaut. Aroma kopi di pagi itu begitu nikmat sekali. Langit Surabya tetap saja mendung, seperti  bersiap dengan tenaganya yang besar untuk menghujani kota ini. Dari balik tirai jendela kamar yang terletak di lantai dua itu, genteng rumah tetangga kelihatan basah. Seekor kucing melintas cepat dan menghilang di balik got genteng rumah sebelahnya lagi. 
Lelaki itu terbangun ketika suara gaduh langkah-langkah orang menaiki tangga kayu di depan kamarnya. Udara dingin yang datang dari tempias hujan dan angin mengguyur Surabaya. Ia terlonjak dan melihat jam weker di meja. Pukul tujuh lewat. Suara gaduh itu membuatnya keluar kamar dan langsung berhadapan dengan ibu kos yang dibantu oleh pembantu mengangkat barang-barang yang mungkin dapat diselamatkan dari serbuan banjir.
"Pak, tolong Pak. Banjir," ujar ibu kos terengah-engah.
Lelaki itu cepat masuk kamar, memeriksa kembali kardus yang ditaruhnya di bawah tempat tidur sore kemarin, sekadar meyakinkan dirinya bahwa kardus itu tidak basah. Kardus mi instan itu masih di sana. Ia menariknya ke luar dan merogoh isinya. Hanya plastik-plastik bekas pembungkus alat-alat komputer yang beberapa hari lewat dibelinya di Kebon Sari. Tak lebih dari itu. Ia sangat kecewa.


BIOGRAFI

Dia bernama Muhammad Noor Widiansyah, biasa dipanggil Noor. Dia lahir di Kediri pada tanggal 8 Oktober 1995. Alamat rumah dia di Bandar Lor Gg. IX no. 63A. Hobi dia dirumah yaitu bermain game online, jalan-jalan, dan lain-lain. Pendidikannya dimulai di TK Dharma Wanita, dilanjutkan di SDN Bandar Lor 4, lalu ke SMPN 8 Kota Kediri yang lulus pd tahun 2011, lalu dia melanjutkan di SMAN 5 Kediri. Dia anak ke-2 dari 2 bersaudara. Motto hidup dia “Jangan menengok kebelekang, karena di depanmu sudah menanti sukses”. Hal menarik yang pernah ia alami adalah ketika ia mendapatkan hadiah dari ULTAHnya.






3 komentar:

  1. Cerita Kardus Mie Instan Di Gerbong ~ Ekspresi Online >>>>> Download Now

    >>>>> Download Full

    Cerita Kardus Mie Instan Di Gerbong ~ Ekspresi Online >>>>> Download LINK

    >>>>> Download Now

    Cerita Kardus Mie Instan Di Gerbong ~ Ekspresi Online >>>>> Download Full

    >>>>> Download LINK

    BalasHapus