Karya: Dita Rizki T. H.
Nina bobo’ oh nina bobo’ kalau tidak bobo’ digigit nyamuk. Masihku ingat suara ayah yang telah meninabobokanku di malam bulan purnama beberapa tahun lalu. Tangannya yang hitam menggendongku dengan penuh rasa cinta.
***
“ Ayah, kembalikan buku ku! Adik mau buat PR nih!” bentakku dengan nada tinggi kepada lelaki yang suka menggodaku ini.
Kejar-kejaranpun terjadi, ibu yang melihat cuma bisa menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan keras.
“Ayah, bukuku.” Tangisku di sudut ruang tamu sore itu. Begitulah aku selalu menangis bila ayah menggodaku. Aku memang sangat cengeng.
Aku benci dengan leluconnya yang sama sekali tak lucu. Leluconnya yang selalu membuatku menangis! Aku benci aroma tubuhnya, aroma rokok. Dan satu hal yang paling kubenci darinya. Ayah sering mencium pipiku! Aku benci dicium!
Aku tahu ayah tak seburuk yang kupikir. Aku tahu ayah menyangiku. Aku juga tahu bahwa aku lah anak kesayangannya. Tapi sisi positifnya sama sekali tak mampu mengalahkan rasa benciku padanya.
Kenapa ayah tak sehebat ayah teman-temanku. Coba kalau ayahku seperti ayah Ninis yang menjadi notaris terkemuka atau setidaknya ayah Nadhifa yang setiap malam minggu mengajak keluarganya jalan-jalan. Apa yang kubanggakan dari ayahku?
***
“Dita ayo bangun!” teriak ibu dari depan pintu kamarku. “Ya bu.” Balasku asal-asalan. Akupun segera bangkit dari tempat tidur lalu berjalan gontai keluar kamar.
Kulewati kamar ayah dan kulihat sosok tinggi besar yang masih tak beranjak dari ranjang. Selalu begitu! Kuputuskan mendekatinya.
“ Ayah! Bangun! Udah siang nih! Tiap hari selalu kesiangan. HUH ayah pemalas!” semprotku pada pria yang masih berleha-leha dengan mimpinya itu.
Begitulah sikap kasarku pada ayah yang selalu bermalas-malasan. Bukan hanya itu sesekali aku membentak-bentak ayah. Sehari bisa ratusan kali aku berkata kejam padanya. Bahkan aku sering memukulnya dengan keras saat beliau menggodaku. HUH! Mengapa ada sosok menyebalkan sepertinya! Aku benci ayah!
Sampai suatu hari saat usiaku menginjak angka 12 tahun. Sebuah kejadian membuatku menyesali semua sikapku yang tak pernah manis pada beliau. Aku benar-benar menyesal.
Sore itu ayah pulang kantor dalam keadaan lemas. Tak seperti biasanya, ayah juga tak pulang sendiri tapi diantar oleh temannya.
“Tadi bapak muntah-muntah di kantor” ujar pria yang mengantarkan ayah, dia masih memgang tangan kanan ayah yang pernah terkena penyakit struk itu.
“Terima kasih sekali ya, pak. Maaf, sudah merepotkan” ujar ibu sembari memapangkan senyum yang tak pernah lepas dari bibir manis itu.
Ibu dengan sabar membawa ayah ke kamarnya. Lalu beliau beranjak ke dapur untuk membuatkan kopi untuk ayah.
“Alah yah! Masuk angin gitu aja manja banget” tuturku dengan nada sinis. Itu terakhir kalinya ayah mendengarkan suaraku yang pedas.
Sore itu kutemui wajah ibu yang panik melihat mulut ayah yang berbusa. Aku tertegun melihatnya, lelaki yang baru kusemprotkan sudah tak sadarkan diri.
Sore itu juga ayah dilarikan ke rumah sakit, beliau langsung masuk ruang ICU. Aku dirumah bersama kakakku menunggu, hanya bisa menunggu dirumah.
Saat aku bersiap-siap berangkat sekolah, kulihat mobil om Rudi berhenti di depan rumahku. Kulihat ibu menangis didalam mobil.
“Nak, ayahmu meninggal tadi subuh.” Suara om Rudi bergetar, sedih.
Aku langsung menangis meraung-raung sambil memanggil ayah berulang-ulang. Hanya kakak yang terlihat jauh lebih tegar.
Dihadapan jenazah ayah aku Cuma mampu menangis bersama sanak saudara lain. Apa yang mampu dilakukan anak usia 12 tahun selain melantunkan ayat suci di sela tangisnya.
***
“Ayah, tadi disekolah ada tugas mengarang tentang cita-cita kami. Ayah tahukan apa yang aku tulis tadi? Aku yakin minggu depan pasti tulisanku yang dimuat di mading sekolah!”
Itulah kebiasaanku yang tidak diketahui siapapun. Aku suka sekali berbicara dengan foto ayah. Ayah adalah pendengar yang baik. Ayah selalu tersenyum apapun yang aku ceritakan padanya. Ayah sselalu mendukung tiap tindakanku. Ayah tak pernah bosan mendengarkanku. Karena kau tahukan,dia bukan ayah. Kenyatannya dia cuma foto, tapi aku tetap suka.
Ayah sudah memberiku banyak hal padaku. Banyak hal yang tidak pernah kudasari sebelum beliau pergi. Banyak hal yang berharga yang tak pernah kudapatkan dari siapapun.
Beliau benar-benar sosok yang hebat. Sosok yang sama sekali tidak pernah marah saat aku membentaknya. Sosok yang tak pernah benci saat aku memukulnya dengan keras sekali. Sosok yang selalu tersenyum saat aku menyuruhnya seenak hatiku.
“Apa? Ayah tidak tahu apa yang aku tulis untuk tugas disekolah tadi?ayah tidak mampir ke sekolah ya tadi siang? Ah ayah, besok harus mampir ke sekolah. Nanti akan adik kenalkan dengan sahabt-sahabat adik di sekolah. Mau kan? Jangan sampai lupa ya yah! Aku mau kasih sesuatu buat ayah.
Ayah, ayah! Lihat deh, ini aku buat tadi siang waktu mata pelajaran bahasa indonesia. Ini khusus buat ayah lo! Coba baca yah!” kuhadapkan secarik kertas padanya.
Buat Ayah
Malam sedingin ini kuingat tangan ayah yang hitam
Memelukku dengan segenap kasih sayang
Suaramu yang berat
Mendongengiku tentang mimpi-mimpimu yang koyak
Membuaiku dalam kehangatan dunia cintamu
Masih kuingat dendangmu ayah
Mengantarkanku berjalan menuju cemerlangnya mimpi
Masih kusimpan, Ayah
Senyummu yang mampu mengusap luka
Dan sampai kini...
Masih melekat di jiwaku juta sesal-sesal itu
Aku rindu sosokmu
Sosok yang membuatku selalu menangis
Sosok yang memberiku sejuta kenangan
Sosok yang mengajarkanku makna kata sayang
Ayah...
Kugoreskan pena hatiku tuk rangkai ini untukmu
Aku tak akan menangis lagi, Yah!
Karena ayah selalu di sini
Di dalam hatiku..
Hari ini tepat dimana waktu pelajaran bahasa indonesia dimulai, akupun mulai demam panggung untuk membacakan puisiku di depan kelas tapi aku sudah berjanji pada ayah dulu kalau aku bisa mengalahkan rasa takutku ini. Tepukan tangan teman-teman serasa memenuhi dadaku. Membuatku merasa semakin gemetar. Ayah, bantu aku!
“Dear ayah, aku tahu ayah selalu bersamaku, melihatku dari balik awan. Aku tahu ayah selalu di dekatku sedekat tuhan menemaniku. Aku tahu ayah selalu tersenyum saat aku berceloteh tentang hari-hariku.
Ayah adalah sosok yang amat membuatku berdecak kagum. Walau ayah tidak seperti ayah teman-temanku. Ayah bukan seorang presiden direktur sebuah perusahaan besar. Ayah bukan seorang aktor tampan yang terkenal. Ayah juga bukan sosok yang selalu mengajakku bertamasya saat liburan. Ayah bukan sosok semacam itu.
Ayah adalah sosok yang selalu membuatku menangis setiap hari. Ayah adalah sosok yang masih bisa tertawa terbahak-bahak saat aku memukulnya sampai kesakitan. Ayah adalah sosok yang selalu membuatku tersenyum saat aku membentakmu dan menyuruh-nyuruhmu.
Itu dulu, ya dulu sekali! Cuma kisa saat ayah masih bisa benar-benar tersenyum di hadapanku. Sebelum ayah sakit. Sebelum ayah pergi jauh.. jauh sekali!
Aku tahu ayah sudah memaafkan aku walau aku belum minta maaf. Karena ayah adalah ayah terbaik di dunia!
Ayah terima kasih atas semuanya. Atas kenangan yang kau ukir di hatiku. Atas senyum dan tawamu. Terima kasih tetap senyum walau kau tahu aku pernah sangat membencimu. Terima kasih ayah! AKU CINTA AYAH!”
Kudengar seluruh kelas bertepuk tangan menembus seluruh sudut kelas. Memenuhi seluruh dada sampai aku benar-benar tak sanggup menampungnya. Dan karena itu aku benar-benar menangis lepas! Tidak! Bukan karena itu, aku sudah menangis sejak menyebut kata “ayah”! dan kulihat ayah tersenyum manis padaku dari balik awan itu.
BIOGRAFI PENULIS
DITA RIZQI TRI HAKIM, akrab dipanggil Dita, lahir di Kediri, 16 Juli 1995. (katanya) Nyaris gak ada kemiripan fisik sama orang tuanya. Putri ketiga dari tiga bersaudara pasangan H. Imam Subowo, SKM dan Hj. Puji Prihantini, Amd,keb. ini menghabiskan waktu hidupnya di kediri walaupun sebenarnya kehidupan di malang lah yang ia inginkan. Ia mulai belajar di Pondok Pesantren Ngadiluwih Kediri sejak menginjak umur 4tahun, lalu meneruskan pendidikan formal di SDN BUJEL III Kediri pada waktu kelas 4, kemudian melanjutkan study di SMPN 1 KEDIRI dan di SMAN 5 Kediri lah ia masih menuntut ilmu di kelas 10 tepatnya di X-4. Penyuka warna merah ini bercita-cita menjadi psikolog. Ia senang menghabiskan waktunya untuk nonton kartun, baca komik, dan nyoret-nyoret iseng di kertas mana yang kebetulan nganggur. Ibunya merupakan inspirasi terkuat dihatinya. Kata-kata yang sering ia pegang “dont judge me until you know me, dont underestimate me until you challenge me, dont talk about me until you’ve talked to me”
0 komentar:
Posting Komentar