Karya : Devi Eka
Dini adalah anak seorang pemulung yang tinggal di lingkungan kumuh. Kini dia berusia 6 tahun sejak September 2007 yang lalu. Dini sehari-
harinya ikut membantu ibunya mengumpulkan uang dengan cara mengamen di lampu merah. Dia tidak mempunyai keahlian khusus karena dia masih sangat kecil untuk mencari uang. Ia memulai membantu ibunya sejak berumur 5 tahun karena dulu ayahnya meninggalkan dia & ibunya. Ibunya berpenghasilan sangat minim, kuarang untuk makan sehari – hari. Dia dan ibunya tidak patah arang untuk mencari uang, tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta,sangatlah sulit untuk mendapatkan uang 10.000 perak. Dini tidak sekolah kanak – kanak karena tidak mempunyai biaya cukup. Pada waktu siang hari saat matahari berada di tengah-tengah pas diatas kepala, tiba – tiba ada seorang kakek yang menggunakan sebuah tongkat menuju ke arahnya, yang pada saat itu Dini sedang duduk-duduk di pinggir trotoar, dia bercucuran keringat dan raut wajahnya pucat pasi karena dia sangat haus dan kecapekan.
“Eh… sini cah ayu”. Kakek tua itu segera menghampirinya, ia melangkahkan kaki dengan langkah yang berat dan ia terlihat gugup. Kemudian kakek itu menawari uang kepada Dini, Tetapi kata kakek itu uangnya Cuma sedikit, asalkan Dini mau menyanyikan lagu jawa.
“Lagu apa kek.” Dini sangat penasaran dan dia yakin bias menyanyikannya. Kakek tua itu segera menjawab bahwa Dini harus menyanyikan lagu Lir-Ilir
Lir ilir, Lir ilir
Tandure wes sumilir
Tak ijo royo – royo
Tak sengoh temanten anyar
Cah angon – cah angon
Penekno blimbing kuwi lunyu – lunyu
Penekno kanggo basuh
Dodo tiro,
Kanggo basuh dodo tiro
Kanggo basuh mengko soro
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar rembulane
Mumpung jembar karanganne
Yo..sorako sorak yo
Dini menyanyikan lagu jawa yang itu dengan sangat fasih, karena ibunya dari jawa timur. Dia menyanyi diringi sebuah tamborin yang suaranya sangat lantang, walaupun tamborin itu warnanya sudah kusam dan tidak layak di pakai. Kakek itu sangat senang dan gembira.
“Dini ..ohh…Dini suaramu sangat merdu sekali”kakek itu tersenyum tipis .kemudian kakek itu merogoh kantung celananya. Ia mengeluarkan uang 5 rupiah.
Dini sangat penasaran sekali.
“Ini bukan koin sembarangan cah ayu ini Cuma ada 2 koin di Indonesia. Dulu banyak sekali koin
ini tapi ada yang berbeda ndok”.
Ia terus memandangi koin yang ada di tangannya itu tanpa memalingkan wajahnya sedikitpun.
“ini koin 5 rupiah ndok”.ini gambar burungnya itu kebanyakan menghadap ke kiri, tapi pada koin ini hadapnya kanan.
Kata kakek itu koin ini akan bermanfaat & berguna bagi kamu. Ketika kakek itu mengungkapkan wejangan – wejangannya dia hanya terdiam.
Si kakek tua itu kemudian meninggalkan di tengah – tengah ramainya jalan raya yang sangat bising & sangat panas, ia terus menatapi kakek tua itu yang lama – lama telah jauh menggalkan dirinya.ia tertegun pada waktu kakek itu hilang entah kemana, tenggelam pada kendaraan yang lalu lalang.
Dini terus berjalan dan akhirnya dia tiba di sebuah rumah kardus yang ada di lingkungan kumuh dan orang – orang yang mata pencahariannya hanya mencari kardus, botol – botol, del yang sudah tidak terpakai.
“Assalamualaikum…bu…ibu”. Kemudian ibunya menjawab
“Waalaikumsalam…udah pulang??
Kemudian Dini mengeluarkan uang hasil jerih payahnya dari pagi hingga sore hari. Ia dan ibunya segera menghitung , ada koin 500 rupiah sebanyak 10 dan seratusannya 15 dan koin 200nya 20. Ibunya sangat kaget ketika dia menemukan uang Rp5, itu di tengah tengah koin yang lain.
“Ini koin siapa Din???Punya kamu???
Ia menceritakan kepada ibunya bahwa dia di beri koin ini oleh kakek tua yang asing. Ia tak pernah melihat wajah kakek tua & sekalipun dia mengenalnya
“Ini koin 5 rupiah Din, ini pada zaman ibu masih kecil ini bias untuk beli apa – apa Din, “ Ibunya mencoba meyakinkan Dini dari mata ibunya, wanita itu berkata yang sejujur – jujurnya.
Ibu Dini kemudian menyuruh ntuk menyimpan koin itu di bawah bantalnya karena dia tidak mempunyai almari / tempat khusus lainnya.
Hari berlalu dengan cepatnya, dan jam di rumahnya berjalah dengan sangat cepat sekali seolah-olah jam itu sangat kecapek’an dan tidak mau berhenti untuk beristirahat sejenak. Satu bulan sudah berlalu, Dini dan Ibunya melakukan rutinitas sehari-hari yaitu mengamen seperti biasanya. Pada waktu matahari hamper menuju tempat singgahnya dan akan menyembunyikan sinarnya, tiba-tiba dia berhenti disebuah warung. Ia berfikir ketika dia melihat satu acara di televisi swasta. Dini langsung bertanya kepada pemilik warung tersebut.
“Ohhh… itu tadi ada kolektor yang mau cari uang, tapi berbentuk koin neng”. Dini bertanya ke pemilik warung tentang alamat si kolektor tadi. Ibu pemilik warung tidak tahu alamat pastinya tapi kelihatannya di Jalan Cendana. Ibu itu kurang yakin akan perkataanya tersebut. Pemilik warung tersebut mengatakan ke Dini bahwa kolektor tadi akan membeli dengan harga berapa saja.
Keesokan harinya, Dini berangkat pagi-pagi sekali untuk bersiap-siap mencari alamat si kolektor tadi, sebelum jalanan macet dipenuhi kendaraan bermotor.
“Din mau kemana?”. Ibu Dini mencoba untuk menanyai Dini sebelum Dini pergi.
“ Ini bu… Dini mau mencari alamat kolektor”.
“Kolektor?” Ibu Dini sangat kaget.
“Iya bu, kemarin saya melihat ada kolektor yang mau mencari uang koin kayak milikku bu..”.
Ibu Dini tidak bias mengantarkan Dini, karena Ibunya harus mencari uang. Dini sangat pengertian ke ibunya, dan dia tidak apa-apa walaupun tidak di antarkan oleh ibunya untuk mencari alamat si kolektor tadi.
“Hati-hati di jalan ya.. owhh iya Din, kamu punya uang tidak untuk naik angkot?”
“Punya bu.. tapi cuma Rp 10.000, 00
Kemudian ibunya member uang tambahan sebesar Rp 5.000,00. Ibu Dini menasehati Dini kalau tidak tahu jalannya kamu tanya saja kepada orang-orang, jangan malu kalau bertanya ke orang.
‘Iya…iya bu…” celoteh anak kecil yang kalau di beri tahu biasanya suka begitu.
Dini mencari alamat si kolektor tadi ternyata tidak sesuai dengan harapannya tadi, berjam-jam Dini mencari alamat kolektor. Ia naik turun angkot ± 5 kali dan ia tidak menyerah, ia bertanya kepada banyak orang.
Pada akhirnya ia tiba di rumah yang sangat besar & sangat…sangat… mewah itu. Dia segera memencet bel di rumah itu. Muncul sesosok laki-laki bertubuh kekar & tinggi, kumisnya sangat tebal. Ihhh…pokoknya memngerikan sekali. Dini kelihatannya sangat takut.
“ Cari siapa dek”. Dengan nada suara yang berat dan lantang.
“Iiiini pak, saya mau mencari orang yang mau membeli koin ini pak”. Seluruh tubuh Dini bergetar dan sampai-sampai Dini ingin pergi saja.
Kolektor tadi langsung mempersilahkan Dini untuk masuk ke rumahnya. Kolektor dan Dini menuju ke sebuah ruangan yang di dalamnya banyak tersimpan uang kertas ataupun uang koin yang ada di pigora besar.
Dini sangat kagum pada ruangan ini, Dini melihat satu persatu pigora yang disediakan di dinding-dinding tembok yang sudah disediakannya. Walapun sebenarnya dia tidak bias membaca lancar, kemudian dia memperkenalkan dirinya.
“Nama saya Dini pak…”
“Ohh..iya dek…”. Dini dan kolektor itu kemudian berbincang-bincang, ternyata kolektor itu sangat baik.
“ Mana koinnya Din??”
Dini segera menyerahkan koin itu kepada kolektor tadi. Ternyata benar sekali itu koin yang diinginkan oleh kolektor itu. Kolektur terus memandangi koin itu, bahkan berulang-ulang kali dia mengolak-alik koin itu.
“Saya tawar Rp 100.000.000,00 gimana dek?”
Wowwwww… itu harga yang sangat fantastis sekali bagi golongan menegah ke bawah seperti Dini dan Ibunya.
Ia hanya bengong saja karena dia tidak menyangka kalau koinnya itu menghasilkan uang yang sangat banyak sekali.
“Din… gimana, kok malah ngelamun”.
“Pak…ini saya tidak sedang bermimpi kan??”
“Iya din.. bapak ini sungguh-sungguh tidak bercanda kamu
mau tidak ???. kolektor berusaha untuk menyakinkan dan ia berharap bahwa dini mau menyerahkan koinnya itu. “Iya pak saya mau”
Kolektor dan Dini lalu berjabat tangan, kolektor itu lalu menulis cek sebesar Rp. 100.000.000.00,- lalu dia menyerahkan cek uang yang sangat besar itu kepada Dini. Dia membayangkan uang sebanyak itu mau dibuat apa??? Di dalam benaknya ia mau ???
Prioritas I = Bisa sekolah disekolahan elit
Prioritas II = Membuat rumah yang mewah
Prioritas III = Membuka usaha untuk ibunya.
Dia terus membayangkan bisa meraih itu semua, sejenak ia membubarkan semua prioritas dalam benaknya itu. Sekarang ia sedang membayangkan bahwa dia menjadi seseorang yang mempunyai banyak uang, mempunyai apa-apa yang dia inginkan, dan dia dihormati oleh banyak orang. Dulunya dia hanya dihina orang – orang yang melihatnya dengan sebelah mata sebagai anak pemulung. Seketika itu ia bersujud syukur didepan kolektor itu. Nasibnya sekarang berubah sangat drastis sekali. Allah memberika rizki yang tidak terduga bahkan dengan petikan jari, nasib Dini sekarang sudah berubah. Dini berpamitan kepada kolektor itu, ia mengucapkan banyak-banyak terima kasih.
“saya juga begitu Din saya juga mau berterima kasih sama kamu, pergunakan uang ini dengan baik-baik, hati – hati dijalan ya. . .
Dini sangat senang, gembira dan hatinya sekarang sangat berbunga-bunga, dia mendapatakan “ REJEKI NOMPLOK“, dia tidak menghiraukan keadaan di jalan raya itu sangat ramai, berlari….. berlari dan terus berlari dan sesekali dia melompat untuk menunjukan begitu senang dia. Di hati kecilnya dia tidak akan membiarkan cek itu terlepas dari tangannya, dia pegang cek itu dengan erat-erat.
Tiba-tiba di persimpangan jalan ada mobilyang melaju dengan begitu kencangnya, Dini tidak memperhatikan mobil itu..
“ Aaauuuchh “ . Teriakan yang sangat keras sekali, ia kesakitan dan ia tergelepar di tengah jalanan.
Banyak sekali orang yang kemudian berhamburan untuk melihat dan membantu Dini. Orang yang menabrak dini mau bertanggung jawab, dan ia segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Orang itu sangat kebingungan sekali, karena Dini tidak mempunyai kartu pengenal / kartu pelajar. Orang itu tidak tahu harus menghubungi siapa ?? untuk memberitahukan kabar Dini, Ia segera menghubungi Papanya. Papanya itu segera datang ke rumah sakit. Ohh,,, ternyata tak di sangka-sangka orang tua itu adalah si kolektor tadi dan yang menabrak Dini adalah anaknya. Kemudian ia menunjuk ke arah kaca UGD
“ Itu Pa … anak yang saya tabrak tadi “ .
“ Astaghfirullah … anak itu kan, yang tadi … kenapa kamu bisa menabraknya ? ”
Kolektor itu sangat terkejut dan Dia emosi sekali.
“ Anak ?? tadi dia tidak melihat saya Pa… dia langsung nyebrang aja “. Dia mencoba untuk menjelaskannya.
Papanya menyuruh untuk segera mencari alamat Dini dan memberitahukan kepada orang tuanya. Setelah mencari dengan susah payahnya akhirnya dia ketemu juga dengan rumah Dini . Kemudian Ibunya di beritahu dan dia meminta maaf karena sudah menabraknya. Ibu Dini memaafkannya karena dia mau bertanggung jawab, Ibunya segera menuju ke rumah sakit bersamanya.
Saat di rumah sakit kolektor itu membiayai seluruh biaya operasi Dini. Kolektor itu segera menemui Dini di UGD.
“ Nak … Maafkan kesalahan anakku”, Ia membuai rambut Dini dan bercucuran air mata saat melihat keadaan Dini yang sangat lemah dan kritis.
Kemudian kolektor menitipkan sebuah kotak kecil kepada salah seorang suster yang bertugas merawat dan menjaga Dini.
Tak lama kemudian Ibunya datang menuju ke UGD. Dokter itu segera menghampiri Ibunya dan Dokter itu mengatakan bahwa, kedua kakinya harus di amputasi tapi tidak semuanya karena kecelakaan yang dialami Dini sangat parah dan jari jempol, telunjuk tangan kanan Dini juga.
“ Apa Dok…? Bagaimana dengan masa depan anak saya…?
Ibunya yang saat itu sangat khawatir dan Ibunya tidak bisa menahan tetesan airmatanya.
“ Tenang Bu… ini kalau tidak segera di amputasi infeksinya akan menjalar ke seluruh tubuhnya, bisa-bisa Dini lumpuh total Bu…”
Kolektor tadi mendengar pembicaraan antara Dokter dan Ibunya Dini. Kemudian dia sedih, langsung pergi meninggalkan rumah sakit. Ibunya Dini segera menandatangani Surat persetujuan Dokter untuk melakukan operasi. Ibunya Dini menanyakan tentang biaya operasi Dini. Kata Dokter Itu sudah ada yang membiayai operasi dan biaya pasca operasi Di rumah sakit. Ibunya dini sangat bersyukur sekali, karena orang yang menabrak Dini mau bertanggung jawab dan menanggung seluruh biaya rumah sakit. Operasi Dini berlangsung sekitar ± 3 jam. Setelah itu Dini di bawa ke kamar perawatan untuk mengoptimalkan penyembuhan fisiknya. Ibunya sangat sedih sekali, karena melihat Dini tergolek lemah tak berdaya di tempat tidur dan harus menerima kejadian ini. Ibunya Dini menangis tersedu-sedu sampai Dini terbangun.
“ Bu…, Dini dimana ? Kok Ibu menangis”. Suaranya sangat lemah sekali
“ Di rumah sakit, Din…” , Ibunya mencoba untuk menjawab dengan tegar dan nada suaranya yang bergetar.
“ Bu, mana cekku ? “
“ Cek … apa Din ?
“ Cek …Bu pokoknya cek ada uang banyak, Bu..” Dini kelihatan sangat khawatir dengan cek itu.
Ada seorang suster yang tiba-tiba menyerahkan kotak kecil kepada Dini. Ia tidak bisa membuka cek itu karena tangannya belum sembuh dan di suruhlah Ibunya untuk membukanya. Setelah di buka Ibunya terkejut sekali di dalamnya ada cek sebesar 100 juta dan di bawahnya ada koin 5 rupiah. Dini kebingungan sekali karena koinnya sudah ia serahkan kepada kolektor.
Dini segera beranjak untuk membuka selimut yang ada di kakinya, karena kaki kananya mati rasa dan tangannya di perban. Setelah ia membuka selimutnya Dini amat terkejut.
“ Ibu … Kenapa kakiku kok nggak ada, kok cuma satu, Bu ?
Ia berteriak-teriak dan menangis .
Suster segera menyuntikkan Dini dengan obat penenang. Satu jam kemudian terbangun, Ibunya segera menjelaskan semuanya ke Dini dan menjelaskan tangannya. Dini sangat kecewa, tetapi dia bisa menerima kejadian itu walaupun hatinya sangat berat menerimanya.
“ Ya Allh kenapa semua ini terjadi padaku ? Kenapa aku nggak peranah bahagia”.
Setiap malam saat di rumah sakit, Ia selalu menangis dan tidak mau makan. Selama 1 minggu lebih Dini di rawat di rumah sakit, dan tiba waktunya untuk Dini pulang ke rumah dengan kursi roda. Uang 100 juta itu ia pergunakan untuk membeli rumah yang sederhana, walaupun tidak mewah, tapi Dini merasa tidak tinggal di rumah kardus. Setelah itu Dini di sekolahkan Ibunya Di SLB karena keadaan fisiknya yang serba terbatas, Ibunya membuka warung kecil-kecilan yang menyediakan sembako dan jajanan.
Dini bersekolah Di SLB selama 12 tahun. Tahun ini adalah tahun yang menentukan bahwa lulus tidaknya. Di lingkungan sekitarnya dia selalu di cerca, di hina dan di remehkan. Cantik… cantik kok cacat. Saat mendengarnya hati Dini bagai di sayat-sayat pisau yang sangat tajam dan tertusuk beribu-ribu duri. Sejak saat itu Dini ingin menunjukan kepada semua orang, bahwa dia bisa … bagai anak normal umumnya. Ia mulai rajin belajar, dan ia berprestasi di sekolahnya
Alhamdullilah … Ia lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Ia ingin melanjutkan sekolahnya ke Universitas Negeri yang ada di Jakarta walaupun keadaan yang abnormal.
Ia menyusun cita-citanya dari tinggi sampai rendah. Pertama dia ingin menjadi seorang Dokter dengan kemampuannya ia sanggup tapi Ia berfikir secara fisik dan ekonomi tidak bisa meraih cita-citanya itu. Yang kedua dia ingin menjadai seorang penyanyi tapi keadaannya yang serba kekurangan fisik, dia berfikir masyarakat belum tentu menerimanya.
Keesokan harinya dia mendaftar ke Universitas di antar oleh Ibunya. Berjuta-juta mata tertuju kearahnya, Dini mencoba tegar dan tidak menghiraukan itu semua. Kemudian ada petugas / Stafnya yang menangani pendaftaran menanyakan ke Ibunya Dini.
“ Apakah dia bisa menulis ? apakah dia sanggup menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswa ? Apakah dia selalu duduk di kursi roda ? Pertanyaan itu bertubi-tubi mengalir ke ibuku
Huh… Pertanyaan-pertanyaan yang bodoh dan tidak logis yang keluar dari orang yang terpelajar. Ibunya Dini terdiam, orang itu memberi penjelasan kepada Ibu Dini bahwa orang seperti Dini tidak bisa di terima di universitas itu.
Kemudian Ibunya menjelaskan ke Dini. Dia meneteskan air mata pada waktu itu tapi, dia mencoba untuk tegar, Ia pulang dengan perasaan yang sangat hancur, karena dia ingin masuk di jurusan IT. Kata temannya di sekitarnya jurusan IT menyenangkan dan kalau tidak mempunyai komputer, di sediakan oleh Universitas bisa di gunakan untuk belajar.
Dini memecahkan celengannya dan mengumpulkan uang untuk membeli kaki palsu, untuk kesuksesannya . Pada malam harinya seperti mendapat ilham dia mencoba untuk menulis kisahnya dan curahan hatinya, dia berpikir karyanya nanti bisa di kirim ke salah satu koran lokal. Tiga hari kemudian karya pertamanya jadi,segera ia kirimkan ke salah satu koran lokal. Satu minggu setelah itu karyanya di tolak, dia gagal karena cerpennya itu masih jauh dari kesempurnaan. Saat itu juga dunia terasa sangat gelap, Dini sangat putus asa, karena telah berusaha semampunya, tapi hasilnya nihil. Ibunya terus menyemangati, saat itu perasaan Dini sedih, kesal dan menyesal. Selama ini dia terus berdoa , dia selalu sholat lima waktu, sholat tahajudpun dia lakukan, tetapi Allah belum berkenan membuka jalan pada Dini
Dia membaca pada sebuah majalah ada seorang penyandang cacat dapat menjadi pengusaha yang sukses dan terkenal. Bak pada sebuah ruangan yang sangat gelap, tiba-tiba ada lampu berpijar sangat terang dan membuat ruangan itu terang. Dia mencoba menulis lagi, dan merubah kesalahannya, dia memperbaikinya dengan melihat lewat internet.
Dini menulis sebuah cerpen remaja, 7 hari kemudian dia mengirimkannya dan dimuat. Ia terus menulis lagi dan bersemangat karyanya yang ini dimuat 15 kali, karena kata-katanya menyentuh hati. Dia kemudian membuat lagi, dan mengirimnya ke redaksi sebuah majalah. Tulisannya terus berkembang. Alhamdulillah, dia bisa membuktikan pada orang-orang yang buta dan memandangnya sebelah mata, dia tidak pantas untuk diremehkan, dan unutuk sukses tidak selalu menjadi orang yang sempurna. Sekarang Dini sangatlah terkenal. Pada suatu malam di bawah sinar bulan purnama, dia keluar dari rumah dan menuju ke halaman rumahnya. Dia tersenyum ke sebuah kotak kecil, ternyata koin itu 5 rupiah.
Taukah kalian semuanya…. bahwa impiannya yang ketiga adalah menjadi seorang penulis.
Kata – Kata Bijak :
v Hal terbaik yang bisa kita lakukan saat seorang meragukan kemampuan kita adalah terus belajar kedepan dan terus berbisik dalam hati “Lihat Nanti”
v Dunia boleh mencibir dan menentertawakan saat kita berjalan dengan kepastian menuju sebuah impian. Karena keyakinan dan tekad yang terus membara akan membungkam mereka pada saatnya nanti.
v Bersyukur kalian yang dalam keadaan normal, diluar sana banyak sekali orang yang kekurangan fisik dengan semangat berkorban. Janganlah kalian yang normal kalah. . . . dan terus semangat bagi yang kekurangan fisik.
v Apapun yang terjadi, terus pelihara dan fokus pada impian/ cita-cita, dan saksikan pada saat nanti dimana kita sendiripun terhenyak mendapati diri telah berada di sana.