Cerpen Lavenska D' Angel
Langit sore ini cukup bersahabat. Memang.. ini baru pukul 14.30 siang tapi aku tidak merasakan sinar matahari yang berlebihan. Setidaknya sinar matahari ini tidak terlalu menyengat dan menyebarkan bau khasnya. Kau tau seperti apa bau matahari itu? Cobalah untuk mencari tahu dan menikmatinya sendiri. Maaf, aku sedikit pelit tentang penjelasan mengenai bau matahari tadi. Dan sepertinya bau matahari itu tidak kucium sore ini dan ini sedikit membuatku berani untuk duduk santai di halaman rumah kontrakanku yang yaa.. menurutku cukup layak untuk bisa disebut dengan rumah. Memang belum bisa disebut sebagai rumah modern karena memang bentuk rumah yang terkesan ‘antik’. Rumput jepang yang menyemut memenuhi teras rumahku kadang-kadang sedikit membuatku kesulitan untuk menyapu halaman. Cat rumah yang berwarna putih memudar makin menambah kesan antik pada rumah kontrakanku ini. Pot-pot gantung berjejer rapi di sisi kanan teras rumah. Hey.. jangan salah, aku seorang laki-laki dan aku suka bunga, apakah itu suatu masalah? Kurasa tidak. Rumah ini mempunyai 5 ruang, 1 ruang tamu, 1 ruang makan, 2 ruang kamar tidur (seharusnya memang dua, tapi aku hanya mempergunakan 1 ruang untuk kamar tidur, sisanya? Gudang), dan 1 ruang untuk kamar mandi. Lumayan kan? Lumayan mini untuk bisa disebut sebagai rumah. Tapi rumah kontrakanku ini masih tergolong layak huni dibandingkan dengan rumah-rumah penduduk di sekitarku. Entah lah, aku pun masih bertanya-tanya, masihkah wilayahku ini termasuk dalam provinsi Lampung?
Entah bumi yang semakin renta atau kulit ku yang memang sedikit manja, tapi kulitku ini memang sejenis dengan kulit-kulit orang kaya di kota. Bagimana tidak? aku tidak bisa terkena sinar matahari terlalu lama. Kau tau seperti apa kulit setengah melepuh? Yaah.. seperti itulah kulitku jika terkena sinar matahari terlalu lama. Sedikit mengerikan.
“hey..
Aku tak bergeming. Aku masih terbawa indahnya langit sore ini. Lagi pula tak bisakah wanita disebelahku ini duduk santai lalu menikmati indahnya sore sepertiku?
“sepertinya aku memang harus mencuri uang ibu..”
Aktifitas lamunanku mendadak dipaksa terhenti. Aku melirik wanita disebelahku malas “apa..?”
“aku harus mencuri uang ibuku..”
Aku tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalaku “jangan gila...”
“hidup yang memaksaku untuk gila”
Sepertinya wanita disebelahku ini benar-benar memaksaku untuk menghentikan aktifitas lamunanku. Aku mengubah posisi dudukku menghadap dirinya, melipat kakiku kedepan lalu mulai memusatkan perhatianku padanya “Oke.. kau butuh uang berapa..?”
“Aku hanya ingin ibu peka terhadap hatiku”
Aku tertawa sinis. Bagaimana bisa ia menuntut rasa peka dari seorang ibu seperti ibunya itu..? rasa peka..? bahkan mungkin sekarang rasa cinta pun ia tak punya. Ya.. aku yakin itu.
“apa yang lucu..?! kenapa kau malah tertawa haah..?” tanyanya sewot.
“kau pikir saja sendiri apa yang lucu” jawabku cuek. Sejujurnya aku masih ingin menikmati indahnya langit sore ini.
“Fatih..!!” ia memanggil namaku kuat “tidak bisakah kau sedikit bersimpati terhadap keadaanku..?”
Alis kananku refleks naik “simpati..?”
“yaa..!”
Aku mengangkat kedua bahuku pelan lalu mengembalikan posisi dudukku seperti semula. Rasa simpatiku sudah terlalu banyak kuberikan untukmu, hey wanita. Apakah kau tidak menyadarinya?
“ ‘simpati katamu..? aku sudah bosan bersimpati terhadap keadaanmu’”
Aku mengerutkan keningku “apa..? kau mengatakan apa tadi?”
“bukankah kamu baru saja mengatakan kalimat itu didalam hatimu?”
“haaahh..?” aku menganga dengan bodohnya. Sial..! bagaimana ia bisa tahu? “hahahaha...” dan kali ini aku tertawa. Tunggu dulu, untuk apa aku tertawa? Secepat kilat kuhentikan tawaku lalu menoleh kearahnya. Sudah kuduga.. Ia menatap tajam kearahku “hey.. is there something wrong?” tanyaku (sok) polos.
Ia tidak mengubah ekspresinya dan tidak mengatakan apapun.
“hey.. ayolah..” aku meninju bahunya pelan “oke..oke.. mm.. begini saja, kita kembali ke topik awal. Jadi.. kapan kira-kira kamu mau mencuri uang ibumu?” Ya Tuhan.. kenapa aku malah menanyakan hal ini padanya..? “mm.. maksudku kenapa..? eh, bukan.. mm.. “ kalimatku terhenti. Aku kehabisan kata-kata.
Dan tatapannya semakin tajam kearahku.
Aku menyerah. Kuletakkan kaca mataku lalu mengerjapkan kedua mataku, mengambil kain pembersih kaca mataku lalu mulai membersihkan lensanya “menurutku, ada kalanya hidup ini berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Seperti saat ketika aku menginginkan ibuku untuk tidak bercerai dengan ayah dan membiarkanku hidup bersama duniaku yang mungkin hanya ada aku dan rasa kesepianku. Tapi inilah hidup.. mau tidak mau, suka tidak suka, memang harus tetap berjalan. Kamu ingat kalimat yang kamu ucapkan ketika aku berniat untuk kabur dari rumah 5 bulan yang lalu? Berusahalah untuk tidak menghitung kesulitan, karena jika kamu terlalu sering menghitungnya maka kemudahan akan terlihat biasa saja. Rencana Tuhan selalu berakhir dengan kebaikan dan jika yang kamu dapatkan belum baik, maka itu bukanlah akhir”
Kalimatku ampuh. Tatapannya berubah “kamu selalu bisa menghandle situasi”
Aku tersenyum lembut “tentu saja..”
Ia mencoba untuk tersenyum ”kadang aku merasa Tuhan tidak melindungiku”
“Kalau Tuhan tidak melindungimu, kamu mungkin sudah mati”
“mungkin mati lebih baik untukku”
“kamu pikir mati itu adalah solusi dari semua masalahmu? Solusi dari semua rasa sakit hatimu? Solusi dari kemiringan akal sehat ibumu?”
Ekspresi wajahnya berubah. Ia menoleh cepat kearahku “jangan pernah menghakimi ibuku, fatih..! cukup aku dan takdir yang boleh menghakimi perbuatannya padaku”
“hahaha...” aku tertawa keras lalu menghempaskan tinju ke udara “bodoh..! Apa kau pikir ibumu melindungimu saat teman kantornya berusaha masuk kekamarmu lalu..”
“Aku mau pulang..!” ia memotong kalimatku “kamu mulai terasa seperti TeVe hitam putihku, membosankan.”
Aku terdiam namun masih menyisakan sedikit tarikan kecil di sudut kanan bibirku. Dasar payah.. kenapa pula harus aku yang ia pilih untuk menanggung rasa empati yang begitu besar terhadap dirinya? Haah..! siaal..!
“maaf.. aku.. hanya tidak suka masalah itu kau ungkit-ungkit lagi” ia memegang tanganku lembut lalu tersenyum “yang jelas, aku senang bisa bersamamu saat ini..”
Pipiku memerah. Aku salah tingkah dan emosiku menguap. Bagaimana aku bisa melewatkan sedetikpun senyuman dibibirnya itu? Mau tidak mau, aku memang terhipnotis oleh senyuman dan ucapannya “ouh.. syukurlah” hanya itu yang mampu ku ucapkan.
Fairy masih mempertahankan senyuman dibibirnya. Matanya tidak berkedip menatapku dan bagiku tatapannya mulai menggoda kestabilan hatiku.
Suasana mulai terasa berbeda. Bukan karena kami yang mulai merasakan atmosfir yang berbeda tapi karena memang adzan maghrib yang seolah-olah menamparku dan membuatku menekan dalam-dalam keinginan untuk tetap duduk disamping Fairy, Wanita yang menjadi lawan bicaraku saat ini. Wanita yang sudah 10 tahun menganggapku sebagai sahabatnya. Yaah.. sahabatnya. Tidak pernah lebih dari itu.
“Aku pulang, fath. Semoga besok bisa kesini lagi” Fairy menatapku sambil tersenyum manis. Ia membetulkan poni rambutnya lalu mengikat rambut sebahunya menjadi satu kebelakang.
“kamu serius mau nyuri uang ibu kamu..? buat apa? Kamu bisa pakai uang ku dulu kalau kamu mau”
“aku sudah bilang.. aku hanya ingin ibu peka terhadap keadaanku”
“ibumu tidak pernah mengenal rasa peka, fairy!”
“Everything’s gonna be alright, okay?”
“tapi, fa..” kalimatku menggantung diudara, Fairy sudah terlanjur menstarter motornya dan pergi.
Aku terduduk lemas. Apa dia pikir dia adalah wonder woman atau super girl yang bisa dengan mudah melawan kegilaan ibunya? Apa dia pikir dia tidak membutuhkan pertolonganku lagi? Lalu apalagi yang akan terjadi esok, Tuhan..? Haruskah aku pergi menyusulnya? Atau apakah aku harus diam mematung disini sampai akhirnya membiarkan jantungku mau copot karena berdetak dengan ritme yang kacau secara terus menerus? Ah, Tuhan.. beri tahu aku, apa yang harus kulakukan..??
*****
“hey anak siaal...! keluaarrrr..!!”
Aku mengerjapkan mataku. Kuraih Jam alarm kecil di meja sebelah ranjang reyot tempat tidurku. Masih jam 05.00 pagi, tidak mungkin Fairy datang sepagi ini kan? Lalu suara tadi?
“heeyyyy..!! keluaarrr..!!”
Mataku mendadak terbuka lebar. Suara itu memang benar-benar ada. Siapa pula yang berani teriak-teriak di depan kontrakanku ini? Tukang ronda kah? Atau....
CTARRR...!
Pintu ku dilempar dengan batu. Emosi ku naik. Buru-buru kusambar kaos oblong yang kugantung dibalik pintu kamarku, Setelah membetulkan posisi sarung tidur dan kaca mataku, aku keluar kamar dengan sedikit terburu-buru.
“hey...apa-apaan ini..?!! kamu siapa..?!” tanyaku keras setelah membuka pintu kontrakanku.
“mana Fairy?! Dia pasti ada bersama kamu kan? Anak siaaalaaan..!!”
Aku mengerutkan keningku. Kupastikan kaca mata memang telah kupakai. Agak kabur penglihatanku. Atau memang suasana yang masih gelap membuat lemah indra penglihatanku?
“heh, anak dungu..! saya tanya kemana Fairy?! Kamu tuli..?!”
Astaga.. apakah ini ibunya Fairy? Aku berjalan cepat ke arah gerbang kayu rumah kontrakanku, berusaha untuk lebih dekat untuk memastikan apakah benar wanita paruh baya ini adalah ibunya Fairy. Dan ternyata aku benar. Ia benar-benar ibunya Fairy “Fairy gak ada disini..!!” seruku lantang.
“jangan coba-coba berbohong dengan saya ya?! Kamu bisa mati..!” menurutku bola mata wanita ini hampir keluar.
Aku membuka pintu gerbang “silahkan di check...!” sampai detik ini, aku masih barusaha tenang.
Wanita yang menurutku lebih menyeramkan dari nenek lampir ini melihatku sinis. Ia memiringkan sedikit kepalanya sambil menatap tajam kearahku “awas kalau kamu berbohong padaku..!” ia mendorong dadaku kasar lalu berjalan cepat ke dalam rumah kontrakanku.
Tidak kusangka sosoknya lebih menyeramkan dari apa yang Fairy ceritakan padaku. Dadaku berdegup kencang, lalu dimana Fairy jika ia tidak ada dirumah? Apakah sesuatu telah terjadi padanya?
“kemaanaaa dia..?!! aarggghhhhh...!!”
Aku sedikit tersentak. Teriakan ibunya fairy menarik paksa lamunanku. Ia keluar dari rumahku dengan wajah memerah marah.
“dengar, kalau Fairy datang menemui kamu, bilang sama dia kalau dia bakal mati hari ini juga..! kau dengar?! Dia bakal mati hari ini jugaa..!!”
Aku menarik alis kananku, sedikit menunjukkan ekspresi bahwa aku memang tidak menyukainya tanpa berkata sepatah kata pun.
“heh..! kau dengar aku..??!!” ia berteriak lagi.
“anda bisa melihat gerbang keluar? Silahkan pergi...”
Tidak terima dengan kalimatku, ibunya Fairy menarik kerah bajuku kuat “jangan pernah bermain-main denganku. Kamu tahu bahwa aku bisa saja membunuhmu saat ini juga. Jangan kamu kira aku tidak berani..! aku tidak takut dipenjara..!”
“mmh...” aku mengernyitkan dahiku. Kerutan di wajah ibunya Fairy makin terlihat olehku . Ini bukan jarak yang aman bagiku untuk mengambil nafas panjang. Aku mendorong bahunya dengan jari telunjukku “jaga jarakmu denganku, ibu tua. Bau busuk neraka terlalu menyengat darimu. Sepertinya kamu perlu tahu satu hal, Aku juga bisa membunuh ibu saat ini juga! Tapi menurutkuku, menemukan Fairy itu jauh lebih memuaskanku daripada melakukan hal sia-sia dengan mengotori tanganku untukmu. Jangan ibu kira bahwa aku tidak mengetahui semua ketidak warasan yang ibu lakukan selama ini pada Fairy! Dan kamu harus tahu, aku akan membunuhmu kalau Fairy benar-benar mati karenamu”
“hahahahaha...” suara tawanya terdengar sangat menjijikan “apa fairy juga sudah meracuni pikiranmu, anak muda...! seperti ia meracuni akal sehat Reno, suamiku..!!”
“aku minta ibu pergi sekarang juga...!” Aku sudah sangat muak padanya.
“dari awal aku sudah katakan padanya bahwa aku benci mempunyai anak seperti dia. Menyakitkan sekali saat semua orang bilang bahwa ia lebih terlihat menarik dari pada aku! Aku membenci kalimat-kalimat itu! Dan suamiku.. suami ku pun lama-lama mulai terlihat aneh. Ia mulai menyukai Fairy! Jika Fairy bukan racun, lalu apa..??!! ia merebut kecantikanku, ia merebut suamiku dan ia merebut semua kebahagiaanku! Dan kau tau apa yang terjadi malam tadi?? ia mencuri semua perhiasan dan tabunganku. Bukan hanya itu, suami ku pun ikut pergi bersamanya..!!!”
Aku tersentak. Reno ikut pergi bersama Fairy?? omong kosong apa lagi ini?!
“dasar anak haraam...!!!” wanita dihadapanku menggeram kuat.
Demi Tuhan.. aku sudah tidak kuat lagi. Kudorong tubuh wanita didepanku kasar. Ia terjerembab ke tanah, wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia tidak terima terhadap perlakuanku “oke.. aku pergi.. tapi ingat, Fairy akan mati hari ini juga..! dan kamu, akan menangis darah sepanjang malam. Aku tahu kamu menyukainya sejak dulu. Dan akan menjadi sangat menyenangkan bagiku saat melihat harapan hidupmu hancur bersama kematian Fairy..!” ia membersihkan celana jeans bagian belakangnya lalu merapikan rambut bergelombang sepinggang miliknya. Dengan santai ia mengeluarkan kaca kecil dari dalam tasnya lalu merapikan rambut yang menutupi mata sipitnya. Dan akhirnya ia menggelar kipas besarnya lalu pergi sambil mengibaskan kipas ke wajahnya angkuh.
Aku masih berdiri kaku ditempatku. Siapa yang tidak mengenal ibunya Fairy di daerah ini. Seorang rentenir besar dan aku tahu ia bisa melakukan apa saja sekehendak hatinya. Tapi aku tidak perduli tentang itu. Aku hanya belum percaya apa yang baru saja terjadi. Jadi Fairy memang benar-benar jadi mencuri uang ibunya? Inikah kepekaan yang Fairy inginkan? Dasar bodoh..! LaLu Reno? Kenapa Reno pun ikut pergi bersamanya? Kenapa Reno? Kenapa Reno..? kenapa harus bersama Reno?
Aku mengumpat pelan. Pagi baru saja menyapa tapi semua ‘kejutan’ ini membuatku hampir tak sanggup melanjutkan tarikan nafasku ke siang hari. Kali ini Fairy benar-benar membuatku gila.
Kulangkahkan kakiku pelan. Rumput jepang dihalamanku sudah mulai panjang. Sudut mataku seolah melukis bayangan Fairy yang tersenyum samar di halaman rumahku kemarin sore. Aku semakin lemas, dimana dia..?
Nada dering panggilan handphoneku mengagetkanku. Agak gontai aku berjalan kekamar. Kutekan tombol ‘jawab’ tanpa melihat si penelfon “iyaa.. halo?”
“saudara fatih?” suara seorang wanita. Agak terdengar berat.
“iyaa..?” aku menjauhkan handphone sesaat lalu melihat ke layar handphone, aku tersentak, ini nomor fairy?? Jantungku kembali berdegup kencang “halo..! fairy?? ini nomor Fairy kan?!”
“ouh.. anda benar temannya pemilik handphone ini? Maaf.. kami menemukan pemilik handphone ini tergeletak di pinggir jalan raya. Tidak ada identitas sepertinya. Saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Kami berulang kali memastikan apakah wanita ini masih hidup atau tidak, tapi dengan sangat menyesal sepertinya ia sudah tidak bernafas lagi...”
Deg..! mataku membulat kaget. Jantungku semakin berdegup kencang namun seluruh persendianku lemas. Aku terduduk lesu “a..apakah ia bersama seorang laki-laki?” aku mencoba mengeluarkan suara setenang mungkin.
“tidak.. ia sendiri. Maaf, anda bisa keluar rumah sekarang?”
Kakiku serasa tidak menginjak bumi. Kepalaku mendadak pusing. Aku terduduk lemas. Fairy...me..ninggal..?
“halo..?? halo..?”
Aku tergagap “iya..? lalu ada dimana Fairy sekarang?” suaraku mulai serak. Nampaknya aku menangis. O..tidak.. aku seorang laki-laki. Aku tidak menangis, aku hanya menitikkan air mata. Ya Tuhaan... payah sekali aku ini.
“Fairy tepat berada dibelakangmu..”
“apa..??!” refleks aku membalikkan badanku. Mataku dengan cepat menangkap sosok seorang wanita di depanku. Tunggu dulu.. mataku sedikit kabur, aku mencoba melepas kaca mataku lalu mengusap air mataku dengan cepat. Kali ini aku bisa melihatnya dengan jelas. Jelas... sangat jelas.
“will u marry me, fatih farhat..?”
Mataku kembali berkabut. Siaall...!! ia benar-benar Fairy..! aku berlari memeluk tubuhnya. Aku tidak akan perduli lagi dengan air mataku yang seolah berteriak mengejek ke cengenganku.
“hey....? sudahlah... air matamu itu sedikit menggangguku”
Aku tertawa kecil “aku tidak perduli. Ini belum ada apa-apanya dengan rasa khawatir karena ketololanmu. Dasar bodoh..!”
Fairy melepaskan pelukanku. Ia tersenyum sambil menarik daguku lembut “kau terlihat payah...”
Aku memiringkan sedikit kepalaku lalu menarik alisku ke atas. Aku tidak percaya ini. Jadi ia...
“yaa... aku sedikit mempermainkan rasa khawatir di hatimu. Payah sekali dirimu ini. Mengapa kamu tidak bisa mengenali suaraku haah..? dalam berbagai situasi, harusnya kau tetap bisa mengenali suaraku..”
“maaf.. aku terlalu shock tadi. Tunggu dulu.. tadi sepertinya kamu mengucapkan sesuatu?”
“sesuatu? Apa..?”
“do u say will you marry me?”
Fairy tertawa kecil. Ia tertunduk sesaat lalu meraih kedua tanganku “will you marry me?” wajahnya memerah.
Aku menatap matanya “apa..??” entah kenapa, jantungku berpacu lebih cepat.
“kau membuatku semakin salah tingkah, bodoh..!”
Aku mencoba untuk tertawa. Namun yang keluar hanyalah suara seringai yang aneh. Aku menatap matanya lagi, mencoba mencari kesungguhan kata-katanya.
“apakah ini terlalu tiba-tiba? Atau momentnya yang kurang pas?” lagi-lagi ia tersenyum.
“ibumu mencarimu, fairy. Reno bersamamu?”
Raut wajah Fairy berubah. Ia menarik nafas panjang lalu melepaskan genggaman tangannya. Disenderkannya tubuhnya ke dinding ruang tamu kontrakanku sambil melepas topinya “ibuku kesini?” ia menatapku.
Aku tidak menjawab. Aku hanya membalas tatapannya tanpa ekspresi.
“ya.. aku mencuri semuanya tapi tentang Reno? Aku tak tahu...”
“Ibumu bilang Reno pergi bersamamamu...”
“sudah kubilang aku tak tahu....!!”
Aku menghela nafas panjang “aku tidak mengerti... untuk apa kamu melakukan semua ini. Aku tahu semua ini berat untukmu. Menjalani hidup satu rumah dengan manusia setengah iblis seperti ibumu mungkin sudah membuatmu gila. Tapi ini tidak akan mengubah apapun, fairy. Ibumu menyangka kalau kamu pergi bersama Reno dan membawa kabur uang dan semua perhiasannya..”
“aku hanya mengambil uangnya” ia menyela kalimatku “mungkin Reno yang mengambil perhiasannya”
“oke... apapun itu tapi ibumu sedang mencarimu saat ini”
“aku mencintaimu, Fatih farhat..”
“diamlah...!”
“aku mencintaimu..!”
Aku terdiam. Ada apa dengannya..?
“apa kamu pikir mudah untukku mengucapkan kata-kata ‘aku mencintaimu’..?” Fairy menatap mataku sayu. Ia tertunduk sesaat lalu tak lama kemudian ia menegakkan kepalanya “kau tau aku tidak mempunyai banyak waktu untuk mengungkapan ini semua. Aku terlalu bingung harus menceritakan yang mana. Aku mencintaimu dan apakah itu salah..?!”
“Fairy.. ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah hati. Kita harus memikirkan tentang keselamatanmu dulu...”
“waktuku habis, Fatih.. Kau memang tidak mencintaiku..”
“Fairy... bukan itu maksudku...”
“aku harus pergi....”
“tidak, fairy...! kamu jangan pergi dulu..! aku mohon...! Fairy...!! Fairy.....!!”
“hey, bodoh..! bangun..!!”
Aku tergagap. Nafasku masih naik turun. Refleks aku menengok ke kanan dan ke kiri. Mataku menemukan apa yang aku cari “Ya Tuhan, Fairy..!” aku memeluknya erat.
“Astaga... kamu kenapa, fat? Hey...! Kamu mimpi buruk?” Fairy mengelus rambutku lembut.
Aku tersentak “apa? mim..pi? aku bermimpi?”
“Ayolah... kamu tidur di sebelahku dari tadi. Kau membiarkanku mengobrol sendirian dan meninggalkanku tidur. Dasar payah..! ini sudah jam 6 sore dan aku harus pulang. Mengapa pula aku harus menunggumu bangun untuk bisa pulang kerumah? Yaah.. tentu saja karena aku adalah seorang tamu yang baik. Datang dan pulang dengan penuh kesopanan. Iya kan, fath??” Fairy melepaskan pelukanku. Ia menatap mataku sambil tersenyum manis.
Aku seperti kaku di tempat. Mataku tak lepas menatap matanya. Sampai saat ini nafasku masih belum stabil. Tuhan.. kali ini aku tidak bermimpi kan..??
“fatih..??”
“Love you, fa...”
“apa..??!”
“Will u marry me..??”
__________________________________________
Kotabumi, 2-28 ApriL 2012
Lavenska D’Angel
“hey..
Aku tak bergeming. Aku masih terbawa indahnya langit sore ini. Lagi pula tak bisakah wanita disebelahku ini duduk santai lalu menikmati indahnya sore sepertiku?
“sepertinya aku memang harus mencuri uang ibu..”
Aktifitas lamunanku mendadak dipaksa terhenti. Aku melirik wanita disebelahku malas “apa..?”
“aku harus mencuri uang ibuku..”
Aku tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalaku “jangan gila...”
“hidup yang memaksaku untuk gila”
Sepertinya wanita disebelahku ini benar-benar memaksaku untuk menghentikan aktifitas lamunanku. Aku mengubah posisi dudukku menghadap dirinya, melipat kakiku kedepan lalu mulai memusatkan perhatianku padanya “Oke.. kau butuh uang berapa..?”
“Aku hanya ingin ibu peka terhadap hatiku”
Aku tertawa sinis. Bagaimana bisa ia menuntut rasa peka dari seorang ibu seperti ibunya itu..? rasa peka..? bahkan mungkin sekarang rasa cinta pun ia tak punya. Ya.. aku yakin itu.
“apa yang lucu..?! kenapa kau malah tertawa haah..?” tanyanya sewot.
“kau pikir saja sendiri apa yang lucu” jawabku cuek. Sejujurnya aku masih ingin menikmati indahnya langit sore ini.
“Fatih..!!” ia memanggil namaku kuat “tidak bisakah kau sedikit bersimpati terhadap keadaanku..?”
Alis kananku refleks naik “simpati..?”
“yaa..!”
Aku mengangkat kedua bahuku pelan lalu mengembalikan posisi dudukku seperti semula. Rasa simpatiku sudah terlalu banyak kuberikan untukmu, hey wanita. Apakah kau tidak menyadarinya?
“ ‘simpati katamu..? aku sudah bosan bersimpati terhadap keadaanmu’”
Aku mengerutkan keningku “apa..? kau mengatakan apa tadi?”
“bukankah kamu baru saja mengatakan kalimat itu didalam hatimu?”
“haaahh..?” aku menganga dengan bodohnya. Sial..! bagaimana ia bisa tahu? “hahahaha...” dan kali ini aku tertawa. Tunggu dulu, untuk apa aku tertawa? Secepat kilat kuhentikan tawaku lalu menoleh kearahnya. Sudah kuduga.. Ia menatap tajam kearahku “hey.. is there something wrong?” tanyaku (sok) polos.
Ia tidak mengubah ekspresinya dan tidak mengatakan apapun.
“hey.. ayolah..” aku meninju bahunya pelan “oke..oke.. mm.. begini saja, kita kembali ke topik awal. Jadi.. kapan kira-kira kamu mau mencuri uang ibumu?” Ya Tuhan.. kenapa aku malah menanyakan hal ini padanya..? “mm.. maksudku kenapa..? eh, bukan.. mm.. “ kalimatku terhenti. Aku kehabisan kata-kata.
Dan tatapannya semakin tajam kearahku.
Aku menyerah. Kuletakkan kaca mataku lalu mengerjapkan kedua mataku, mengambil kain pembersih kaca mataku lalu mulai membersihkan lensanya “menurutku, ada kalanya hidup ini berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Seperti saat ketika aku menginginkan ibuku untuk tidak bercerai dengan ayah dan membiarkanku hidup bersama duniaku yang mungkin hanya ada aku dan rasa kesepianku. Tapi inilah hidup.. mau tidak mau, suka tidak suka, memang harus tetap berjalan. Kamu ingat kalimat yang kamu ucapkan ketika aku berniat untuk kabur dari rumah 5 bulan yang lalu? Berusahalah untuk tidak menghitung kesulitan, karena jika kamu terlalu sering menghitungnya maka kemudahan akan terlihat biasa saja. Rencana Tuhan selalu berakhir dengan kebaikan dan jika yang kamu dapatkan belum baik, maka itu bukanlah akhir”
Kalimatku ampuh. Tatapannya berubah “kamu selalu bisa menghandle situasi”
Aku tersenyum lembut “tentu saja..”
Ia mencoba untuk tersenyum ”kadang aku merasa Tuhan tidak melindungiku”
“Kalau Tuhan tidak melindungimu, kamu mungkin sudah mati”
“mungkin mati lebih baik untukku”
“kamu pikir mati itu adalah solusi dari semua masalahmu? Solusi dari semua rasa sakit hatimu? Solusi dari kemiringan akal sehat ibumu?”
Ekspresi wajahnya berubah. Ia menoleh cepat kearahku “jangan pernah menghakimi ibuku, fatih..! cukup aku dan takdir yang boleh menghakimi perbuatannya padaku”
“hahaha...” aku tertawa keras lalu menghempaskan tinju ke udara “bodoh..! Apa kau pikir ibumu melindungimu saat teman kantornya berusaha masuk kekamarmu lalu..”
“Aku mau pulang..!” ia memotong kalimatku “kamu mulai terasa seperti TeVe hitam putihku, membosankan.”
Aku terdiam namun masih menyisakan sedikit tarikan kecil di sudut kanan bibirku. Dasar payah.. kenapa pula harus aku yang ia pilih untuk menanggung rasa empati yang begitu besar terhadap dirinya? Haah..! siaal..!
“maaf.. aku.. hanya tidak suka masalah itu kau ungkit-ungkit lagi” ia memegang tanganku lembut lalu tersenyum “yang jelas, aku senang bisa bersamamu saat ini..”
Pipiku memerah. Aku salah tingkah dan emosiku menguap. Bagaimana aku bisa melewatkan sedetikpun senyuman dibibirnya itu? Mau tidak mau, aku memang terhipnotis oleh senyuman dan ucapannya “ouh.. syukurlah” hanya itu yang mampu ku ucapkan.
Fairy masih mempertahankan senyuman dibibirnya. Matanya tidak berkedip menatapku dan bagiku tatapannya mulai menggoda kestabilan hatiku.
Suasana mulai terasa berbeda. Bukan karena kami yang mulai merasakan atmosfir yang berbeda tapi karena memang adzan maghrib yang seolah-olah menamparku dan membuatku menekan dalam-dalam keinginan untuk tetap duduk disamping Fairy, Wanita yang menjadi lawan bicaraku saat ini. Wanita yang sudah 10 tahun menganggapku sebagai sahabatnya. Yaah.. sahabatnya. Tidak pernah lebih dari itu.
“Aku pulang, fath. Semoga besok bisa kesini lagi” Fairy menatapku sambil tersenyum manis. Ia membetulkan poni rambutnya lalu mengikat rambut sebahunya menjadi satu kebelakang.
“kamu serius mau nyuri uang ibu kamu..? buat apa? Kamu bisa pakai uang ku dulu kalau kamu mau”
“aku sudah bilang.. aku hanya ingin ibu peka terhadap keadaanku”
“ibumu tidak pernah mengenal rasa peka, fairy!”
“Everything’s gonna be alright, okay?”
“tapi, fa..” kalimatku menggantung diudara, Fairy sudah terlanjur menstarter motornya dan pergi.
Aku terduduk lemas. Apa dia pikir dia adalah wonder woman atau super girl yang bisa dengan mudah melawan kegilaan ibunya? Apa dia pikir dia tidak membutuhkan pertolonganku lagi? Lalu apalagi yang akan terjadi esok, Tuhan..? Haruskah aku pergi menyusulnya? Atau apakah aku harus diam mematung disini sampai akhirnya membiarkan jantungku mau copot karena berdetak dengan ritme yang kacau secara terus menerus? Ah, Tuhan.. beri tahu aku, apa yang harus kulakukan..??
*****
“hey anak siaal...! keluaarrrr..!!”
Aku mengerjapkan mataku. Kuraih Jam alarm kecil di meja sebelah ranjang reyot tempat tidurku. Masih jam 05.00 pagi, tidak mungkin Fairy datang sepagi ini kan? Lalu suara tadi?
“heeyyyy..!! keluaarrr..!!”
Mataku mendadak terbuka lebar. Suara itu memang benar-benar ada. Siapa pula yang berani teriak-teriak di depan kontrakanku ini? Tukang ronda kah? Atau....
CTARRR...!
Pintu ku dilempar dengan batu. Emosi ku naik. Buru-buru kusambar kaos oblong yang kugantung dibalik pintu kamarku, Setelah membetulkan posisi sarung tidur dan kaca mataku, aku keluar kamar dengan sedikit terburu-buru.
“hey...apa-apaan ini..?!! kamu siapa..?!” tanyaku keras setelah membuka pintu kontrakanku.
“mana Fairy?! Dia pasti ada bersama kamu kan? Anak siaaalaaan..!!”
Aku mengerutkan keningku. Kupastikan kaca mata memang telah kupakai. Agak kabur penglihatanku. Atau memang suasana yang masih gelap membuat lemah indra penglihatanku?
“heh, anak dungu..! saya tanya kemana Fairy?! Kamu tuli..?!”
Astaga.. apakah ini ibunya Fairy? Aku berjalan cepat ke arah gerbang kayu rumah kontrakanku, berusaha untuk lebih dekat untuk memastikan apakah benar wanita paruh baya ini adalah ibunya Fairy. Dan ternyata aku benar. Ia benar-benar ibunya Fairy “Fairy gak ada disini..!!” seruku lantang.
“jangan coba-coba berbohong dengan saya ya?! Kamu bisa mati..!” menurutku bola mata wanita ini hampir keluar.
Aku membuka pintu gerbang “silahkan di check...!” sampai detik ini, aku masih barusaha tenang.
Wanita yang menurutku lebih menyeramkan dari nenek lampir ini melihatku sinis. Ia memiringkan sedikit kepalanya sambil menatap tajam kearahku “awas kalau kamu berbohong padaku..!” ia mendorong dadaku kasar lalu berjalan cepat ke dalam rumah kontrakanku.
Tidak kusangka sosoknya lebih menyeramkan dari apa yang Fairy ceritakan padaku. Dadaku berdegup kencang, lalu dimana Fairy jika ia tidak ada dirumah? Apakah sesuatu telah terjadi padanya?
“kemaanaaa dia..?!! aarggghhhhh...!!”
Aku sedikit tersentak. Teriakan ibunya fairy menarik paksa lamunanku. Ia keluar dari rumahku dengan wajah memerah marah.
“dengar, kalau Fairy datang menemui kamu, bilang sama dia kalau dia bakal mati hari ini juga..! kau dengar?! Dia bakal mati hari ini jugaa..!!”
Aku menarik alis kananku, sedikit menunjukkan ekspresi bahwa aku memang tidak menyukainya tanpa berkata sepatah kata pun.
“heh..! kau dengar aku..??!!” ia berteriak lagi.
“anda bisa melihat gerbang keluar? Silahkan pergi...”
Tidak terima dengan kalimatku, ibunya Fairy menarik kerah bajuku kuat “jangan pernah bermain-main denganku. Kamu tahu bahwa aku bisa saja membunuhmu saat ini juga. Jangan kamu kira aku tidak berani..! aku tidak takut dipenjara..!”
“mmh...” aku mengernyitkan dahiku. Kerutan di wajah ibunya Fairy makin terlihat olehku . Ini bukan jarak yang aman bagiku untuk mengambil nafas panjang. Aku mendorong bahunya dengan jari telunjukku “jaga jarakmu denganku, ibu tua. Bau busuk neraka terlalu menyengat darimu. Sepertinya kamu perlu tahu satu hal, Aku juga bisa membunuh ibu saat ini juga! Tapi menurutkuku, menemukan Fairy itu jauh lebih memuaskanku daripada melakukan hal sia-sia dengan mengotori tanganku untukmu. Jangan ibu kira bahwa aku tidak mengetahui semua ketidak warasan yang ibu lakukan selama ini pada Fairy! Dan kamu harus tahu, aku akan membunuhmu kalau Fairy benar-benar mati karenamu”
“hahahahaha...” suara tawanya terdengar sangat menjijikan “apa fairy juga sudah meracuni pikiranmu, anak muda...! seperti ia meracuni akal sehat Reno, suamiku..!!”
“aku minta ibu pergi sekarang juga...!” Aku sudah sangat muak padanya.
“dari awal aku sudah katakan padanya bahwa aku benci mempunyai anak seperti dia. Menyakitkan sekali saat semua orang bilang bahwa ia lebih terlihat menarik dari pada aku! Aku membenci kalimat-kalimat itu! Dan suamiku.. suami ku pun lama-lama mulai terlihat aneh. Ia mulai menyukai Fairy! Jika Fairy bukan racun, lalu apa..??!! ia merebut kecantikanku, ia merebut suamiku dan ia merebut semua kebahagiaanku! Dan kau tau apa yang terjadi malam tadi?? ia mencuri semua perhiasan dan tabunganku. Bukan hanya itu, suami ku pun ikut pergi bersamanya..!!!”
Aku tersentak. Reno ikut pergi bersama Fairy?? omong kosong apa lagi ini?!
“dasar anak haraam...!!!” wanita dihadapanku menggeram kuat.
Demi Tuhan.. aku sudah tidak kuat lagi. Kudorong tubuh wanita didepanku kasar. Ia terjerembab ke tanah, wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia tidak terima terhadap perlakuanku “oke.. aku pergi.. tapi ingat, Fairy akan mati hari ini juga..! dan kamu, akan menangis darah sepanjang malam. Aku tahu kamu menyukainya sejak dulu. Dan akan menjadi sangat menyenangkan bagiku saat melihat harapan hidupmu hancur bersama kematian Fairy..!” ia membersihkan celana jeans bagian belakangnya lalu merapikan rambut bergelombang sepinggang miliknya. Dengan santai ia mengeluarkan kaca kecil dari dalam tasnya lalu merapikan rambut yang menutupi mata sipitnya. Dan akhirnya ia menggelar kipas besarnya lalu pergi sambil mengibaskan kipas ke wajahnya angkuh.
Aku masih berdiri kaku ditempatku. Siapa yang tidak mengenal ibunya Fairy di daerah ini. Seorang rentenir besar dan aku tahu ia bisa melakukan apa saja sekehendak hatinya. Tapi aku tidak perduli tentang itu. Aku hanya belum percaya apa yang baru saja terjadi. Jadi Fairy memang benar-benar jadi mencuri uang ibunya? Inikah kepekaan yang Fairy inginkan? Dasar bodoh..! LaLu Reno? Kenapa Reno pun ikut pergi bersamanya? Kenapa Reno? Kenapa Reno..? kenapa harus bersama Reno?
Aku mengumpat pelan. Pagi baru saja menyapa tapi semua ‘kejutan’ ini membuatku hampir tak sanggup melanjutkan tarikan nafasku ke siang hari. Kali ini Fairy benar-benar membuatku gila.
Kulangkahkan kakiku pelan. Rumput jepang dihalamanku sudah mulai panjang. Sudut mataku seolah melukis bayangan Fairy yang tersenyum samar di halaman rumahku kemarin sore. Aku semakin lemas, dimana dia..?
Nada dering panggilan handphoneku mengagetkanku. Agak gontai aku berjalan kekamar. Kutekan tombol ‘jawab’ tanpa melihat si penelfon “iyaa.. halo?”
“saudara fatih?” suara seorang wanita. Agak terdengar berat.
“iyaa..?” aku menjauhkan handphone sesaat lalu melihat ke layar handphone, aku tersentak, ini nomor fairy?? Jantungku kembali berdegup kencang “halo..! fairy?? ini nomor Fairy kan?!”
“ouh.. anda benar temannya pemilik handphone ini? Maaf.. kami menemukan pemilik handphone ini tergeletak di pinggir jalan raya. Tidak ada identitas sepertinya. Saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Kami berulang kali memastikan apakah wanita ini masih hidup atau tidak, tapi dengan sangat menyesal sepertinya ia sudah tidak bernafas lagi...”
Deg..! mataku membulat kaget. Jantungku semakin berdegup kencang namun seluruh persendianku lemas. Aku terduduk lesu “a..apakah ia bersama seorang laki-laki?” aku mencoba mengeluarkan suara setenang mungkin.
“tidak.. ia sendiri. Maaf, anda bisa keluar rumah sekarang?”
Kakiku serasa tidak menginjak bumi. Kepalaku mendadak pusing. Aku terduduk lemas. Fairy...me..ninggal..?
“halo..?? halo..?”
Aku tergagap “iya..? lalu ada dimana Fairy sekarang?” suaraku mulai serak. Nampaknya aku menangis. O..tidak.. aku seorang laki-laki. Aku tidak menangis, aku hanya menitikkan air mata. Ya Tuhaan... payah sekali aku ini.
“Fairy tepat berada dibelakangmu..”
“apa..??!” refleks aku membalikkan badanku. Mataku dengan cepat menangkap sosok seorang wanita di depanku. Tunggu dulu.. mataku sedikit kabur, aku mencoba melepas kaca mataku lalu mengusap air mataku dengan cepat. Kali ini aku bisa melihatnya dengan jelas. Jelas... sangat jelas.
“will u marry me, fatih farhat..?”
Mataku kembali berkabut. Siaall...!! ia benar-benar Fairy..! aku berlari memeluk tubuhnya. Aku tidak akan perduli lagi dengan air mataku yang seolah berteriak mengejek ke cengenganku.
“hey....? sudahlah... air matamu itu sedikit menggangguku”
Aku tertawa kecil “aku tidak perduli. Ini belum ada apa-apanya dengan rasa khawatir karena ketololanmu. Dasar bodoh..!”
Fairy melepaskan pelukanku. Ia tersenyum sambil menarik daguku lembut “kau terlihat payah...”
Aku memiringkan sedikit kepalaku lalu menarik alisku ke atas. Aku tidak percaya ini. Jadi ia...
“yaa... aku sedikit mempermainkan rasa khawatir di hatimu. Payah sekali dirimu ini. Mengapa kamu tidak bisa mengenali suaraku haah..? dalam berbagai situasi, harusnya kau tetap bisa mengenali suaraku..”
“maaf.. aku terlalu shock tadi. Tunggu dulu.. tadi sepertinya kamu mengucapkan sesuatu?”
“sesuatu? Apa..?”
“do u say will you marry me?”
Fairy tertawa kecil. Ia tertunduk sesaat lalu meraih kedua tanganku “will you marry me?” wajahnya memerah.
Aku menatap matanya “apa..??” entah kenapa, jantungku berpacu lebih cepat.
“kau membuatku semakin salah tingkah, bodoh..!”
Aku mencoba untuk tertawa. Namun yang keluar hanyalah suara seringai yang aneh. Aku menatap matanya lagi, mencoba mencari kesungguhan kata-katanya.
“apakah ini terlalu tiba-tiba? Atau momentnya yang kurang pas?” lagi-lagi ia tersenyum.
“ibumu mencarimu, fairy. Reno bersamamu?”
Raut wajah Fairy berubah. Ia menarik nafas panjang lalu melepaskan genggaman tangannya. Disenderkannya tubuhnya ke dinding ruang tamu kontrakanku sambil melepas topinya “ibuku kesini?” ia menatapku.
Aku tidak menjawab. Aku hanya membalas tatapannya tanpa ekspresi.
“ya.. aku mencuri semuanya tapi tentang Reno? Aku tak tahu...”
“Ibumu bilang Reno pergi bersamamamu...”
“sudah kubilang aku tak tahu....!!”
Aku menghela nafas panjang “aku tidak mengerti... untuk apa kamu melakukan semua ini. Aku tahu semua ini berat untukmu. Menjalani hidup satu rumah dengan manusia setengah iblis seperti ibumu mungkin sudah membuatmu gila. Tapi ini tidak akan mengubah apapun, fairy. Ibumu menyangka kalau kamu pergi bersama Reno dan membawa kabur uang dan semua perhiasannya..”
“aku hanya mengambil uangnya” ia menyela kalimatku “mungkin Reno yang mengambil perhiasannya”
“oke... apapun itu tapi ibumu sedang mencarimu saat ini”
“aku mencintaimu, Fatih farhat..”
“diamlah...!”
“aku mencintaimu..!”
Aku terdiam. Ada apa dengannya..?
“apa kamu pikir mudah untukku mengucapkan kata-kata ‘aku mencintaimu’..?” Fairy menatap mataku sayu. Ia tertunduk sesaat lalu tak lama kemudian ia menegakkan kepalanya “kau tau aku tidak mempunyai banyak waktu untuk mengungkapan ini semua. Aku terlalu bingung harus menceritakan yang mana. Aku mencintaimu dan apakah itu salah..?!”
“Fairy.. ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah hati. Kita harus memikirkan tentang keselamatanmu dulu...”
“waktuku habis, Fatih.. Kau memang tidak mencintaiku..”
“Fairy... bukan itu maksudku...”
“aku harus pergi....”
“tidak, fairy...! kamu jangan pergi dulu..! aku mohon...! Fairy...!! Fairy.....!!”
“hey, bodoh..! bangun..!!”
Aku tergagap. Nafasku masih naik turun. Refleks aku menengok ke kanan dan ke kiri. Mataku menemukan apa yang aku cari “Ya Tuhan, Fairy..!” aku memeluknya erat.
“Astaga... kamu kenapa, fat? Hey...! Kamu mimpi buruk?” Fairy mengelus rambutku lembut.
Aku tersentak “apa? mim..pi? aku bermimpi?”
“Ayolah... kamu tidur di sebelahku dari tadi. Kau membiarkanku mengobrol sendirian dan meninggalkanku tidur. Dasar payah..! ini sudah jam 6 sore dan aku harus pulang. Mengapa pula aku harus menunggumu bangun untuk bisa pulang kerumah? Yaah.. tentu saja karena aku adalah seorang tamu yang baik. Datang dan pulang dengan penuh kesopanan. Iya kan, fath??” Fairy melepaskan pelukanku. Ia menatap mataku sambil tersenyum manis.
Aku seperti kaku di tempat. Mataku tak lepas menatap matanya. Sampai saat ini nafasku masih belum stabil. Tuhan.. kali ini aku tidak bermimpi kan..??
“fatih..??”
“Love you, fa...”
“apa..??!”
“Will u marry me..??”
__________________________________________
Kotabumi, 2-28 ApriL 2012
Lavenska D’Angel
0 komentar:
Posting Komentar